Minggu, 14 November 2010

Yayasan Kanisius (Bagian II)

C.     SELAMA PERANG DUNIA II DAN MASA REVOLUSI
Pada tanggal 9 Maret 1942, Hindia Belanda menyerah kalah pada tentara Dai Nippon. Kekuasaan diambil alih oleh tentara pendudukan Jepang. Para militer Belanda ditawan. Pasukan militer pribumi dibubarkan. Lalu disusul dengan penawanan semua pria Belanda sipil berumur 18 tahun ke atas, termasuk para flater dan bruder. Tinggal para imam yang masih bebas. Tetapi itupun hanya berlangsung sampai awal 1943. Sebab akhirnya mereka semua kena interniran. Yang masih ada, beberapa imam dan bruder pribumi. Bukan hanya itu yang dibuat Jepang. Gedung-gedung yang penting untuk kelangsungan hidup Gereja pun dibeslag. Gedung-gedung itu misalnya Seminari Tinggi di Jl. Code, Yogyakarta, Kolese Saverius di Muntilan dan Seminari Mertoyudan.
Nasib sekolah-sekolah Kanisius? Sekolah-sekolah yang berbahasa Belanda langsung ditutup. Sementara sekolah-sekolah lain yang berbahasa Jawa serentak kehilangan subsidi dan para pengasuhnya. Sekolah-sekolah terpaksa harus berdikari. Nasib sekolah tergantung pada guru-gurunya. Dalam keadaan yang serba sulit itu tidak sedikit guru yang tetap setia mengemban tugasnya dan tidak rela melihat sekolahnya mati. Tanpa gaji mereka mengajar terus dan dengan tangguh mempertahankan kelangsungan sekolahnya. Dari anak-anak mereka mendapat sekedar sokongan dalam bentuk pemberian apa adanya. Uang sekolah dibayar dengan sebuah kelapa atau beberapa potong ketela. Itupun kalau mampu dan punya. Halaman sekolah ditanami ketela, kacang dan papaya. Semua dimaksudkan untuk m>
Sebaliknya juga ada guru yang tidak kuat lagi bertahan dalam hal itu, mereka berusaha pindah ke sekolah-sekolah negeri yang dibiayai oleh penguasa, dan membiarkan sekolah diambil alih oleh Jepang, atau di bubaeringankan beban guru. Mereka ini berhasil bertahan sampai saat Yayasan Kanisius dapat bangkit kembali. Kesetiaan dan ketahanan mereka menyelamatkan baik sekolah maupun kehidupan Gereja baik yang di pelosok-pelosok maupun di kota.
Jumlah sekolah yang dialihkan pemerintah Jepang dan hilang cukup besar, juga banyak yang membubarkan diri. Umumnya sekolah-sekolah itu adalah sekolah yang masih menyewa, belum punya gedung sendiri dan di tempat-tempat yang belum ada umat katolik sama sekali. Guru perantau terpakasa pulang karena tidak dapat hidup. Di Yogyakarta saja dari 125 sekolah hanya tinggal 50 yang mempertahankan diri. Keadaan di daerah-daerah lain tidak banyak berbeda. Namun Gereja tidak dimusnahkan. Masih ada beberapa imam dan sekolah yang bertahan, menunggu saatnya untuk mekar kembali.
Sekolah-sekolah Kanisius hidup tercerai berai tidak ada yang membayar gaji guru, tak ada yang membimbing dan membina.
Saat itu Rama Adrianus Djajasepoetra SJ sebagai sekretaris dan pemimpin Yayasan dengan cerdik dan cekatan berhasil mengelabuhi Jepang dan menyelamatkan arsip Yayasan. Kendati pada tahun 1943 beliau diculik oleh dinas rahasia Kenpetai bersama dengan dua tokoh Gereja dan Yayasan lainnya, yaitu Rama F. Straeter dan Rama A van Kalken.
Perang dunia II di Pasific berakhir. Balatentara Jepang menyerah kepada pasukan sekutu 15 Agustus 1945. Dua hari berikutnya di Jakarta berlangsung upacara singkat: PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA.
Namun kemerdekaan yang sudah diproklamirkan itu mesti masih harus diperjuangkan sebab pihak Belanda masih terus berusaha menguasai kembali bumi Indonesia. Dalam situasi ini sekolah-sekolah Kanisius sementara dipisahkan satu sama lain menjadi dua kelompok. Pengelompokan tergantung pada letak sekolahnya. Yang jelas sekolah Kanisius terombang-ambing antara dua penguasa yang bertikai. Sekolah Kanisius pun menjadi dua macam. Yang berada di wilayah yang dikuasai Belanda disebut sekolah Federal. Sekolah ini mendapat subsidi dari Belanda dengan Rupiah Federal. Yang berada di wilayah RI disebut sekolah RI, atau sekolah Republik. Sekolah-sekolah Federal dipimpin oleh Rama G. Kester SJ dan kantornya bermarkas di pastoran Gedangan, Semarang, sedang sekolah Republik berkantor di Kolosani (Kolose Santo Ignatius) Yogyakarta. Sekolah-sekolah Federal tidak mengalami kesulitan financial apapun. Lain hal dengan sekolah Republik yang dipimpin oleh Rama C. Martowerdoyo SJ (1945-1947) dan Rama B. Sumarno SJ (1947-1949).
Secepatnya setelah Jepang angkat kaki, diusahakan supaya sekolah-sekolah Kanisius dibuka kembali di seluruh wilayah RI : didaerah Yogyakarta, Klaten dan Surakarta. Dengan bantuan Rama Paroki setempat secara berangsur-angsur sekolah-sekolah mulai di operasikan. Semula tanpa bantuan dari pihak manapun. Dalam usaha itu khususnya di daerah Yogyakarta terjadi rebutan gedung sekolah antara Kanisius dan Negeri. Penyebabnya adalah sebagian besar sekolah-sekolah Kanisius sudah dicaplok oleh Jepang dan dijadikan sekolah negeri. Saat rebutan itu pimpinan Kanisius dengan tekun mengadakan pendekatan dengan pihah “Wiyata Praja” atau Dinas Pendidikan Kesultanan. Hasilnya adalah ditariknya garis imaginer dari kota Yogyakarta ke barat dan ke timur. Sekolah-sekolah yang lokasinya di selatan garis tersebut sebagian besar dikembalikan kepada Kanisius, sedangkan sekolah-sekolah di sebelah utara garis tersebut dinyatakan sekolah negeri, dengan konsesi, bahwa kalau ada di kemudian hari pemerintah sudah mampu membangun gedung-gedung sendiri, gedung milik Kanisius akan diberikan kembali.
Berangsur-angsur aparat pemerintah RI mulai berfunsi. Untuk mengatur pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) di bawah menteri Ki Mangunsarkoro. Begitu kementrian mulai berfungsi Kanisius sudah mengadakan kontak untuk diupayakan bisa memperoleh subsidi atau bantuan berupa apapun. Uasaha itu mendapatkan subsidi untuk beberapa SD dan SMP. Namun besarnya hanya 60% dari gaji guru-guru.
Di Yogyakarta sekolah-sekolah Kanisius berada di dalam kota, di Kalasan dan sekitarnya, di Bantul, Ganjuran, Gunung Kidul, di Kulon Progo dari Wates sampai Boro dan di Klepu dan sekitarnya.
Di daerah Klaten Rama A. Purwodihardja Pr lah yang berjasa besar dalam pembukaan kembali sekolah-sekolah. Dia membuka sekolah-sekolah di seluruh wilayah paroki. Di daerah Surakarta dan Baturetno sekolah-sekolah dibuka kembali oleh Rama C. Marto Werdoyo SJ. Ketika berangsur-angsur daerah RI dikuasai Belanda, sekolah-sekolah diberi kesempatan pula memasuki pool dengan subsidi penuh. Namun di Klaten Rama Pur dengan tegas menolak pool itu. Ia mempertahankan sekolah-sekolah di daerah itu sebagai sekolah republic, tanpa bantuan subsidi dari Recomba. Namun dari Kanisius Semarang Rama Pur mau menerima bantuan yang pada hakekatnya berasal dari Recomba. Wujudnya uang rupiah Federal yang sebenarnya sudah tidak berlaku di Klaten, tetapi ditukar dulu menjadi uang RI, yang saat itu disingkat ORI. Demikian pula sekolah-sekolah di daerah gerilya di Kulon Progo dan kantor cabang Yogyakarta. Dalam hal ini patut dikenang jasa Br. Servas F.I.C yang menjadi penghubung antara sekolah-sekolah di daerah gerilya di Kulon Progo dan Kantor Cabang Yogyakarta, termasuk menganut uang Federal yang telah ditukar dengan unag ORI melalui garis demarkasi.
Pada tanggal 29 Juni 1949 pasukan-pasukan Belanda beserta segala aparat pemerintahnya meninggalkan Yogyakarta disusul pengakuan kedaulatan Negara Republik Indonesia di seluruh wilayah Nusantara. Ini merupakan hasil Konperensi Meja Bundar di Den Haag pada tanggal 2 November 1949. Yang menjadi pemimpin pada tahun itu (1949) di Yogyakarta adalah Rama B. Schouten. Kepemimpinannya hanya berlangsung sebentar, sebab kemudian beliau ditarik ke Centraal Missie Bureau (CMB) di Jakarta. Dalam kekosongan itu Bpk. X. Karyadi mengisinya dan berupaya supaya segalanya bisa berjalan terus. Tidak lama kemudian Rama A. Djajasepoetra SJ ditunjuk sebagai pengganti. Namun itu pun tidak terlalu lama, sebab kemudian beliau ditarik ke Jakarta.
Mengenai guru Pool dan guru Republik masih ada cerita yang memilukan. Guru-guru Pool, yang diangkat oleh pemerintah boneka di kemudian hari mendapat nasib yang lebih beruntung dari pada guru yang turut bergerilya dan non-ko. Guru yang turut bergerilya dan non-ko mengalami nasib buruk yang sangat merugikan khususnya jaminan pensiun yang diberikan oleh Pemerintah RI. Untuk guru Pool di kemudian hari diterapkan segala peraturan dan ketentuan undang-undang yang berlaku untuk pegawai Negeri. Mereka diberlakukan sebagai pegawai Negeri, sedang guru non-Pool dan non-ko diperlakukan sebagai guru swasta subsidi. Mereka tiasak mendapat pensiun penuh berdasarkan UU 11/1969. Ironis sekali bahwa bagi mereka diterapkan Pensioen Regelement Bysondere Leerkrachten tahun 1932, yang sudah usang dan diskriminatif waktu itu. Dan lebih celaka lagi dengan penerapan ordonasi colonial itu, para tenaga non guru misalnya TU dan penjaga sekolah dilepas begitu saja tanpa pensiun. Kanisius dari semula berjuang supaya ketidak adilan ini, khususnya untuk guru-guru di Yogyakarta dan Klaten, dapat dihapus namun mengalami kegagalan sampai saat Bp. Sumarlin diangkat menjadi Mentri Pendaya Gunaan Aparatur Negara. Pada tahun 1978 semua guru subsidi diangkat menjadi Pegawai Negeri.

D.      MASA TRANSISI DAN MASA REORGANISASI
Setelah kekuasaan Belanda di bumi Indonesia dipatahkan, ibu koata RI dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta, dan sekolah-sekolah Kanisius bersatu lagi dibawah satu komando, yang bermarkas di Semarang. Ketika itu yang memegang pucuk pimpinan adalah Rama K. Looymans SJ. Beliau ternyata adalah seorang diplomat yang ulet dan cekatan serta berbakat dalam organisasi dan administrasi. Seseorang dengan kualifikasi inilah yang dibutuhkan untuk menghadapi masalah yang pada tahun 1949 belum kentara, tetapi pada tahun 1950 muncul.
Mulai bulan Januari 1950 Pemerintah RI menghapus status Pool (bersubsidi) untuk semua sekolah swasta, yang diberikan oleh pemerintah Federal. Penghapusan status itu terhitung mulai tahun ajaran baru 1950-1951. Dengan demikian sekolah-sekolah Kanisius kembali menjadi sekolah swasta penuh. Guru-guru yang ingin mempertahankan statusnya sebagai guru Pool (pegawai negeri) dipersilahkan segera mendaftarkan diri pada PPK untuk dilimpahkan ke sekolah negeri, sedangkan guru yang tidak mendaftarkan diri karena ingin tetap bekerja di sekolah Kanisius kehilangan haknya sebagai pegawai negeri.

Yayasan Kanisius kembali menghadapi ujian yang berat. Guru-guru pun dihadapkan pada dilema yang tidak kurang beratnya. Guru-guru harus memilih mempertahankan status Poolnya dengan pindah ke Negeri, atau memilih tetap menjadi guru Kanisius dengan gaji yang belum dapat sepenuhnya dijamin oleh Yayasan. Guru-guru yang semasa Federal kembali pulang kandang kini lari lagi dengan dalih memenuhi anjuran Pemerintah, tetapi sesungguhnya untuk menyelamatkan gaji dan hak pensiun sebagai pegawai negeri.
Untuk menyelamatkan sekolah-sekolah dari kehancuran dan menyesuaikan Yayasan dengan situasi demikian itu Rama Looymans dengan cepat mengambil langkah-langkah pengamanan dan konsolidasi.

1.      Perubahan Nama
Sebagai langkah pertama nama Canisius Stichting diganti menjadi Yayasan Kanisius. Perubahan nama ini beberapa tahun kemudian disahkan secara Yuridis dengan Akte Notaris Tan A Sioe pada tanggal 1 Maret 1954 no 2, dengan klausul bahwa perubahan tersebut berlaku surut sejak 15 Januari 1950. Bersama dengan perubahan ini, anggaran dasar diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
2.      Mencari Pinjaman-pinjama Uang
Untuk melangsungkan kehidupan sekolah-sekolah, terutama yang terletak di daerah, dari kiri kanan dicari pinjaman untuk membayar gaji guru-guru yang tetap setia dan bertahan sebagai guru Kanisius. Namun terpaksa dijalankan juga kebijakan darurat yang tidak dapat dihindari. Untuk sementara waktu sebagian gaji ditangguhkan. Yayasan hanya dapat membayar gaji pokok saja tanpa tunjangan-tunjangan. Situasi ini terpaksa berlangsung sampai 2 tahun lamanya. Namun yang mengharukan ialah bahwa jumlah guru yang solider dan memilih menderita bersama Kanisius cukup banyak.
3.      Mencari Guru Pengganti
Kekosongan di sekolah-sekolah yang ditinggalkan oleh guru-guru yang lari ke negeri harus secepatnya diisi. Dalam hal ini Kanisius banyak dibantu oleh tamatan kursus OVO do Ambarawa. Sejak 1947 bekas Normaal School membuka kursus/penataran yang lamanya 6 bulan, untuk menjadi guru Sekolah Rakyat. Kursus ini disebut OVO (Oplesiding Volks Onderwyzers). Pada saat itu Rama Looymans menjabat pastor Kepala di Ambarawa dan dibantu oleh Br. FX. Wuryaatmadja SJ. Kursus ini dalam perkembangan selanjutnya menjadi SGB 4 tahun dengan asrama sebagai pengganti Normaalschool jaman dulu.
4.      Usaha Mendapat Supsidi Pemerintah
Sekolah yang ingin mendapat bantuan/subsidi dari Pemerintah dipersilahkan mengajukan berkas permohonannya ke Pusat melalui hirarki Daerah. Sulitnya bahwa peraturan pelaksanaanya saat itu belum ada, sehingga terjadi kesimpangsiuran di mana-mana. Kesulitan yang kedua yang dialami ialah untuk menerobos pertentangan yang berkecamuk pada instansi-instansi antara pegawai federal yang dulu koperatif dengan Belanda dan pegawai RI. Sulit dapat diketahui dan membedakan keduanya. Situasi ini membutuhkan pendekatan yang penuh diplomasi. Namun toh akhirnya satu per satu turunlah beslit-beslit subsidi sehingga lambat laun kegoncangan-kegoncangan dapat diatasi dan sekolah-sekolah mencapai ketenangan dan kembali mengemban cita-cita Gereja. Sekolah-sekolah semua dapat dipertahankan, lolos dari kehancuran. Tidak satu pun yang terpaksa harus tutup.

Setelah bermacam-macam percobaan dilalui, Rama K. Looymans mulai mengarahkan pandanganya kedepan. Jumlah sekolah yang dimiliki Yayasan Kanisius sangat banyak. Hampir semua sekolah Katolik di Keuskupan berada di bawah naungan Yayasan Kanisius. Yayasan Kanisius menjadi satu-satunya Yayasan Pendidikan yang ada. Padahal masih banyak daerah yang belum terjangkau oleh pendidikan Katolik. Menurut visi Rama Looymans jumlah sekolah akan lebih cepat berkembang kalau di samping Kanisius didirikan Yayasa-yayasan pendidikan lain yang mendampingi dan memikul sebagian beban dan tanggungjawab.
Mulailah beliau mempersiapkan suatu reorganisasi dengan tujuan mendirikan Yayasan-yayasan baru yang mau diberi sejumlah sekolah untuk dikelola sendiri dan diperkembangkan lebih lanjut, supaya bersama sama dapat menghadapi dan memenuhi kebutuhan umat dan Gereja yang terus meningkat. Begitulah berturut-turut didirikan Yayasan-yayasan seperti: Marsudirini, Pangudi Luhur, Keluarga, Tarakanita, St. Yusuf, Loyola, De Britto, Kebon Dalem, Marganingsih dll.
Reorganisasi ini membawa dampak positip bagi Gereja, umat dan masyarakat. Tetapi bagi kanisius sendiri merupakan pengorbanan yang dampak negatipnya pada saat itu belum diperhitungkan atau diduga. Bagi Kanisius perubahan ini mengantar ke ambang kebangkrutan kira-kira lima belas tahun kemudian. Yang jelas Kanisius serentak kehillangn sekolah-sekolahnya yang terbaik di kota-kota besar, yang penghasilanya paling tinggi. Yang tersisa adalah sekolah-sekolah di pelosok-pelosok yang miskin. Beberapa sekolah Kanisius yang berada di kota-kota umumnya terletak dikampung-kampung dan dikunjungi oleh rakyat kecil. Dengan demikian Yayasan Kanisius menjadi kancah pendidikan dan pelajaran untuk rakyat kecil di kota dan desa. Semula masa depan Kanisius kelihatan cerah karena merupakan sekolah bersubsidi. Selain itu Gereja berkembang dengan pesat terutama di desa-desa. Lagi pula inflasi dan devaluasi rupiah belum mengancam kesejahteraan masyarakat. Mau khawatir apa? Pada masa yang lampau Kanisius juga mampu mendirikan dan memelihara ratusan sekolah di daerah minus. Begitulah kiranya pemikiran rama Looymans, yang didukung oleh Rama G. Kester yang pada saat itu sudah diangkat menjadi Superior Miissionis. Uskup, Rama Kanjeng A. Soegijapranata SJ juga memberi berkat dan restunya. Dan dengan demikian untuk Kanisius “misi”nya menjadi jelas ialah ‘mengkhususkan diri untuk melayani rakyat kecil di desa maupun kota’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar